Bagaimana Kamu Bisa Merasa Bahagia, Kalau Terluka Saja Tidak Pernah?

Sebelum Tenggelam
3 min readDec 12, 2020

--

via instagram @haluccy

Kesedihan dan kepedihan tidak melulu perihal cinta ataupun perasaan yang tak berbalas. Kita semua tau hidup ini memang menyebalkan, contohnya ketika mau menagih utang sama teman sendiri yang pura-pura lupa bahkan lebih galak dari kita, ditolak dosen pembimbing, kehilangan uang di jalan, kopi yang kamu seduh pagi-pagi kurang gula aja bisa bikin perasaan berantakan seharian. Walaupun taraf kesedihan yang kamu rasakan tidak seperih saat ditinggal kekasih waktu sayang-sayangnya, kamu bisa lebih menghargai bahagia yang hadir saat diterpa kesedihan yang remeh-temeh sekalipun.

Begitulah manusia, padahal ada banyak hal yang bisa membuatnya bahagia, tapi hal-hal yang begitu menyebalkan lebih favorit untuk diingat-ingat. Contoh kecilnya, ketika menyambangi kantor kelurahan atau kantor-kantor yang berlabel pemerintah, dengan spontan kita akan langsung merasa tidak nyaman dan tak betah berlama-lama untuk ada disana. Hal itu tentu sangat berkaitan dengan labelling ataupun sugesti yang sudah begitu lekat dengan pelayanan dan penyambutan kantor pemerintahan yang terkesan begitu lelet dan kurang ramah. Karena tak jarang kita pulang dengan tangan hampa, atau kalau sedang sial bisa saja disuruh pulang dan kembali lagi di lain hari. Mungkin kesedihan yang dialami tidak begitu susah untuk dilupakan, karena satu-dua hari juga paling sudah lupa.

Tapi kita seringkali melewatkan kesedihan-kesedihan itu karena dianggap tak ada pengaruhnya, padahal luka sekecil apapun bisa berarti bahagia di lain hari yang harus lebih dihargai.

Selayaknya bahagia, kesedihan juga bisa datang dari hal-hal kecil yang acapkali tidak dianggap sebagai hal yang melukai diri sendiri ataupun orang lain. Yang bahaya adalah ketika kita tidak sadar sudah menanam luka pada orang lain cuma karena anggapan hal tersebut enteng dan dianggap tidak akan melukai hati. Namun, sebagaimana manusia yang diciptakan tidak sempurna, kita pasti tidak lepas dari kesalahan yang pernah kita lakukan pada orang lain ataupun pada diri sendiri.

Tentu saja selalu ada yang menganggapmu lemah ketika merasa sedih ataupun terluka kala hari. Tapi selalu ada pilihan untuk mengambil kesimpulan lain, toh tidak sepatutnya juga menilai anggapan orang lain sebagai penilaian yang saklek pada dirimu sendiri. Ditambah, anggapan itu membuat hatimu semakin nyeri. Alasan apalagi yang membuatmu masih memegang itu sebagai patokan atas apa yang kamu rasakan. Selagi masih hidup di bumi, kecil kemungkinan kamu bisa mengendalikan pikiran orang lain yang mendakwa kesedihan-kesedihanmu.

Tapi di sisi lain, nyeri di hatimu bisa jadi tanda bahwa kamu masih bisa merasa bahagia. Banyak orang-orang yang suka meng-klaim dirinya merasa begitu bahagia padahal belum pernah merasakan luka berdarah yang begitu menyayat. Hal itu tentu sungguh lucu kalau ditilik-tilik, kebahagian tak semena-mena lahir dari hal-hal yang membuatmu perasaanmu bahagia dan nyaman, mengikutsertakan perasaan terluka sebagai perbandingan atas keadaan bahagiamu menjadi hal seringkali terlewatkan. Begitu pula kesedihan dan perihnya luka yang kamu rasakan tempo hari, begitu perih, begitu susah untuk dilewati karena kamu sendiri pernah melalui hal-hal yang membuatmu bahagia ataupun harapanmu untuk dapat pulih sembuh dari luka yang kamu rasakan.

Merasa bahagia tentu menjadi pilihan bagi setiap orang. Tapi memaksa dirimu untuk terus bahagia diantara luka-luka yang tengah dialami cuma mengajari dirimu sendiri untuk berbohong atas apa yang sedang dirasakan. Perihnya luka yang tengah dialami dan kebahagian yang senantiasa mendampingi ibarat dua sisi mata uang. Saling melengkapi untuk memberi makna satu sama lain. Penerimaan kalau semuanya tidak akan selalu baik-baik saja menandakan hidup tidak selalu tentang bahagia.

Hidup memang begitu menyebalkan, semenyebalkan kalau kamu mau tau rasanya jadi bahagia, setidaknya ada rasa luka yang harus ditanggung terlebih dahulu.

--

--