Kapan Kita Akan Berkencan?

Sebelum Tenggelam
3 min readApr 2, 2022

--

Via Instagram

Kau ingat apa yang kutanyakan padamu, waktu kau berdiri bersusah payah di sudut taman itu? Aku menawarkan ikan-ikan kecil yang bisa terbang ke kepalamu waktu kau sedang pusing. Kau bilang, tidak butuh. “Aku sudah punya kucing,” kata kau. “Kucing bisa makan ikan, tapi tidak bisa sebaliknya”.

Seperti kau bisa menipuku. Tapi tidak sebaliknya? Kau menatap dan melihat sedikit mataku, sambil berbisik. “Aku mencintaimu”.

Apa buktinya?

Aku mendengarkan lagu-lagu yang kau pilih.

Lalu kau berpaling lagi. Itu membuatku berpikir lagi. Kamu mencintaiku atau itu hanya bentuk lain dari kekacauan di kepalamu?

Tiap kali kita duduk di taman ini. Kamu senang sekali memandangi pohon-pohon telanjang diguyur hujan. Seraya bilang berkali-kali. Ah, malas ku menyebutkan. Aku tidak memelihara pohon, kata kau. Mata kau juga suka sekali melihat langkah pejalan kaki yang melangkah di depanmu. Sampai mereka hilang di ujung jalan. Aku tidak suka jalan kaki, katamu. “Kalau kau tak ikut”. Kau bilang tak suka membaca kitab Undang-Undang, bertele-tele katamu. Ya, siapa coba yang suka? Aku dan kau lebih memilih membaca raut muka orang-orang. Sambil menebak, “Apa ya, yang mereka pikirkan tentang aku dan kau?”.

Sampoerna, dua puluh lima ribu. Terlalu elit bagi kelas pekerja seperti kau. Masuk akal kalau itu hasil menjarah. Aku dan kau pekerja harian yang banyak akal. “Hahaha, tipu muslihat kan maksudmu”.

Di taman ini juga kau tak pernah memesan apapun selain kematian. Bosan kadang kupikir-pikir membiacarakan itu. “Aku juga, aku juga”. Kita berbicara hal lain juga sama membosankannya. Barangkali kita saja yang tidak berbakat mencairkan suasana.

Di taman itu, setiap Sabtu atau Minggu sore selalu penuh. “Lihat mereka membawa pacar, paling tidak bawa teman”.

“Lantas aku ini siapa? Kesepian kedua?”

“Aku memang tidak suka berteman, apalagi pacaran”

“Dasar binatang jalang. Eh. Kau bahkan tak bisa meradang menerjang”

Lalu apa kau ini? Aku cuma mengubah sedikit kata-kata yang suka kau ucap berulang-ulang ketika kau sedang berpikir. Itu punya Chairil, ayolah. Kau mengubahnya!

Kenapa setiap penyair harus menjadi perokok akut seperti Chairil? Kau kan perempuan. Apa dunia ini kekurangan penyair perempuan yang tak bisa sedikit saja aku idolakan?

“Pertanyaanmu nonsense”

Ya, mungkin aku pengikut-pengikut maszhab nonsense. Bumi datar saja dulu pernah aku debatkan dengan teman sekelasku. Aneh, tapi seru. Tapi kau berkilah, orang-orang nonsense dibutuhkan supaya kau sadar, kau belum cukup mumpuni untuk dibilang sinting.

Maksudmu kau mengira aku dulu sinting?

“Bukankah penyair selalu begitu?” Kamu nyengir sambil menghisap dalam-dalam Sampoerna itu. Ah, kali ini aku yakin itu barang jarahan.

Dipikir-pikir ada benarnya juga. Aku kerap mengira diriku terlalu rumit untuk dipahami lingkungan sekitarku. Aku juga mengira-ngira sampai sempoyongan apa yang ada di benak bapakku ketika ia memutuskan untuk menikah lagi, ketika umurku sudah sampai seperempat abad ini. Apa kehadiranku dan adikku tak cukup sehingga dia menikahi seorang perempuan yang bahkan namanya saja aku tidak pernah dengar. Bapakku membela, katanya aku dan adikku selalu butuh sosok seorang ibu. Ah, rugi dong aku gabung paguyuban piatu.

Persetan dengan itu. Satu dari sekian hal dari kau yang membuatku cukup mumpuni disebut sinting, kukira.

“Lalu kapan kita akan berkencan?”

Apakah kita masih butuh kencan setelah banyaknya pertemuan yang tidak dikira ini?

Novo Amor? Itu kesukaanku. Kau tidak pernah menyebut-nyebut dia sebelumnya.

“Aku pikir kita sekarang semakin serupa”

Kau tertawa. Aku bosan mengimbanginya. Aku bertanya lain lagi, kucingmu di rumah? Sudah umur berapa?

“Bukan, dia kucing komplek. Mati kemarin kelindas mobil, pas lagi kawin sama kucing lain”

Hah

“Benar kata kau, besok aku beli cupang saja. Kawinnya tidak di jalan dan tidak mati kelindas”

Kau tertawa lagi, kali ini getir. Ini ke sekian kalinya aku melihat matamu mendung.

Kau berdiri, bersiap pergi. Karena tidak membawa tas atau sesuatu yang lain tak ada yang perlu kau kemasi. Enteng saja, memang kaya pengangguran kau ini. Beda dengan ku yang tiap kali ke sini harus membawa tas, jaket bahkan kadang-kadang bawa tugas kantor.

Entah setan mana yang menyambar kupingku. Kira-kira begini bunyinya “Sabtu depan ke sini lagi kan”.

“Benar kan, kau menyukaiku”. Sial betul, pipiku panas. Setidaknya kau menurunkan level kepedean dari “mencintaiku” jadi “menyukaiku”.

Kau menghisap rokok Sampoerna terakhir. Memadamkannya sampai tuntas. Tersenyum sebentar ke arahku. Lalu melenggang begitu saja. Berjalan ke luar memunggungiku. Tanpa menoleh.

Tanpa menoleh.

--

--