Katakan, Apa Alasan Kita Harus Melanjutkan Ini?

Sebelum Tenggelam
3 min readMay 15, 2022

--

Via Instagram

Sejatinya ya, cerita cinta satu saja manusia di muka bumi ini tidak akan bisa terwakili bahkan oleh seratus lagu cinta yang pernah ia dengar. Aku percaya dengan itu. Tapi kita tentu butuh penyerderhanaan dari segala persoalan. Makanya, kita mendengarkan lagu-lagu cinta.

Hari ini aku mengira telah mencintaimu. Semendayu lagu melayu. Tulus, tidak malu-malu dan ya harus kuakui ranum sepanjang waktu. Sepanjang sore tadi saat pulang dari kantor yang menyaru dengan arus balik, saluran televisi memutar tayangan-tayangan yang mengingatkan pada pesan whatsappku untukmu pukul 17.00 yang cuma centang biru.(you deleted this message).

Gerimis.

Tentu, selama ini aku ingin mengunjungi museum di tubuhmu, selalu iri pada oksigen yang tinggal di paru-parumu. Pada bibir cangkir yang saban hari mengecap hidungmu. Pada aroma kopi yang membau di hidungmu. Pada handuk yang mengusap tengkuk dan pipimu. Semua orang tahu itu.

Tapi apa kamu juga begitu? Pernahkah kamu ingin mengunjungi macam-macam wahana dan pesta pora di tubuhku? Pernah kali ya. Dan kamu hampir tak tahan. Mungkin terlalu banyak darah. Terlalu tebal debu traumanya. Aku tidak memaksamu, ini sepenuhnya tanggung jawabku.

Jika selanjutnya tentang paru-paru, kamu tahu aku pernah lupa bernapas sehingga harus dibantu hitungan. Tidur berhari-hari. Ada batu kali menyumbat di saluran napaskutiap kali kecemasan itu datang. Pernahkah kamu ingin menjadi oksigen itu supaya bisa, ya minimal menyentuh ujung hidungku? Kamu mengiginkan lidahku? Kamu juga mau tengkuk dan pipiku. Aku tahu yang terakhir. Tapi masihkah?

Barangkali aku sedang masuk masa-masa sumuk. Lupa menengok ke atas, memandang langit, tidak menyediakan diri melihat hal-hal dari sudut pandang yang lebih luas, termasuk tentangmu. Barangkali, benar katamu, aku tidak pernah tertusuk duri. Aku hanya memetik mawar dan sengaja membiarkan durinya melukaiku.

“Kamu terobsesi dengan kesedihan,” katamu.

Ya mungkin saja. Itu artinya hari ini aku terobsesi denganmu. Agar sebuah obsesi terwujud sempurna, subjeknya harus dingin, tidak tersentuh dan murung. Persis dirimu.

Genap 20 bulan kamu tidak pernah sekalipun menyentuh jariku yang tidak melihat apapun kecuali memencet tombol keyboard laptop ini dan tidak menghasilkan apapun. Kamu mengecup tanpa menyentuh bibirku. Itu manis, memang dalam puisi. Selebihnya, kamu tetap tidak tahu tebal dan kering teksturnya.

Kamu bilang aku cantik kalau tanpa bedak. Tapi tidak inginkah kamu ke sini dan menyentuh kasar pipiku yang sesungguhnya?

Apa yang sebenarnya telah kita bangun sejauh ini? Sebuah jembatan atau jalan tol? Yang semata-mata untuk menghormati cinta kita berdua? Lambang hati merah marun hanya bekerja pada enam bulan pertama. Pablo Neruda dan Kahlil Gibran telah layu bunga-bunganya. Sekarang, aku ragu dan bertanya, jangan-jangan kamu akan berakhir (dan memang mengiginkannya) jadi seorang Pak Tua yang membaca kisah cinta? Kisah cintamu sendiri. Oh menyedihkan.

Katamu, kamu nyaman dengan apa saja, keberadaan atau ketiadaan. Kamu menginginkanku sekaligus cukup dengan dirimu. Seandainya aku memilih behenti di abu badai Ibu Kota, kamu mungkin dengan mudah merestui itu dan melanjutkan sisa harimu. Menempuh badaimu di kota yang jauh di mana tidak pernah ada aku dan kamu di sana. Kamu akan tetap duduk, merokok dan hahahihi sambil terombang-ambing. Pura-pura atau tidak, kamu selalu merelakan kepergian.

Jadi tolong, katakan, apa alasan kita harus melanjutkan ini?

--

--