Pagi yang Pecah

Sebelum Tenggelam
2 min readMay 2, 2022

--

Photo: Unsplash

Bagaimana menulis diary seperti bocah kecil yang menceritakan sebutir telur yang pecah dari kulkas untuk diberikan kepada ibunya? Diary itu hanya akan berbunyi ‘Aku sedih sekali. tapi untungnya ibu tidak marah’.

Aku kesulitan menulis apa-apa yang terjadi setiap hari karena selalu terburu-buru dari apa-apa yang terjadi. Belum lagi kau.

Aku mencari apa artinya intonasi tinggi dari cara kau bicara pagi ini. Aku mencari mengapa kau tidak mengangkat teleponku pukul 4 tadi pagi. Padahal, kau sedang mengobrol entah dengan siapa. Mengapa pada dering keempat kau baru angkat? Membuatku merajuk dan mendapati intonasi tinggi dari caramu bicara pagi ini.

Apa yang terbuat dan tenggelam semalaman selama aku tidur? ‘Hilang kan semua’.

Di Instastory tidak menjelaskan banyak hal selain sebagai intro. Pembuka dari intonasi tinggi dari caramu bicara pagi ini.

Aku masih murung. Dan kau tetap memilih meninggalkan pintu. Perutku sakit saat ini. Aku sedang makan seblak, padahal dua jam yang lalu baru saja menyeduh Indocoffe. Panas, sambil ngemil pisang molen. Kau tau. Seblaknya enak. Aku beli di tempat biasa. Yang di depan Kecamatan. Bapak penjualnya selalu tampak lelah tapi selalu ramah dengan nada khas sundanya. Hanya kadang rasanya suka berubah-ubah, persis seperti kau. Aku rasa, bukan karena bapaknya pelit. Tapi aku yang salah, banyak minta, ‘Jangan dikasih gula pak, pedesnya sedeng ya’.

Panas betul rasanya pukul 11.53 ini. 33 derajat celcius. Pasti aku tidak bisa tidur siang, karena dua jam lagi cahaya matahari akan makin sengit menerobos kisi-kisi ventilasi kamarku. Membuat hawa gerah makin gerah, membuat kaki, tangan, leher, ketiak, perut basah oleh keringat yang tidak kuinginkan siang ini.

Perutku masih sakit sedikit. Tapi itu tidak ada hubungannya dengan intonasi tinggi dari caramu bicara pagi ini.

‘Chat WA kita hilang semua’. kata kau tadi pagi.

Chat WA dalam kurun waktu setahun ini yang sama sekali tidak kau cadangkan.

‘Juga semua chat WA selain chat WA kita’. kata kau.

Apakah aku memedulikan itu?

‘Pulang’. Aku sedang membaca itu sekarang. Terlambat sekian tahun dari orang-orang. Biarlah. Aku telah sampai pada halaman ‘Aku tak ingin berakhir seperti mereka. Saling mencintai. Lantas kehilangan dan kini mereka hanya mengenang dan merenung dari jauh’.

Lintang pulang ke Indonesia. Dan memilih untuk tidak memilih. Tetap saja, itu tidak ada kaitannya dengan intonasi tinggi dari caramu bicara pagi ini.

Aku tidak memikirkannya lagi. Siang mulai makin gerah. Aku tidak ingin berleha-leha dengan pencarian maksud dari intonasi tinggi dari caramu bicara pagi ini.

Pagi ini pecah. Sudah kuceplokkan buat sarapanku tadi. ‘Makasih ya’. Tidak ada cara selain berhenti bertanya dan menikmatinya.

--

--