Rontoknya Puisi

Sebelum Tenggelam
4 min readFeb 5, 2021

--

Photo by Priscilla du Prezz on Unsplash

“Tok-tok” Ini hari libur!!

Kemarin seharian aku kuyup menebas langit Bandung demi menyebar brosur dan sangat bosan setelah menebar senyum seharian.

Dan ternyata itu bukan pagi yang biasanya datang mewajibkanku bangun untuk masuk kelas, sekelompok manusia mengetuk dan menodongku karena mereka baru saja kehilangan gawainya tadi malam. Ya, mereka adalah teman-teman sekelasku. Tadi malam maling masuk ke kamar kos dan melenyapkan semua gawai yang ada sampai tak tersisa.

Beberapa hari setelah itu, kita akan menjemput temu selepas perpisahan di meja kelas tahun lalu. Aku merasa biasa saja, tidak darah yang bergejolak dan meluap-luap. Aku menawarkan tempat terdekat dari Jatinangor karena terlalu sumpek menyambutmu disini. Kau datang mengisi kursi di depan ku dan bercerita bagaimana Eka Kurniawan memoles kata-kata dengan sangat ciamik.

“Buku itu begitu vulgar, tapi membuatku takjub”.

Motorku memang menyebalkan, kenapa mesti di saat-saat seperti ini ia harus jadi menjemukan. Tapi kau tetap bersikukuh. “Sudahlah, nikmati malam ini bersamaku”.

Sesudah kejadian itu, kau pulang. Aku telungkup di bawah selimut kamar kos ku, dan entah dengan apa akan kujawab tanda tanya itu.

“Kapan kita akan bersua lagi?”

Kau menghadiahi aku puisi Subagio. Aku terus membaca ulang puisi Aan Mansyur.

Kau meninggalkan aku. Dan kenangan kini satu-satunya masa depan yang tersisa.

Kau sibuk berceloteh di telepon sepanjang hari, aku mengabadikan sajak Adimas Immanuel favoritmu di dinding kosan teman aku.

Katamu Tuhan tinggal dalam diri. Tapi kau berdoa menatap langit, tak menunduk menatap tubuh. Seolah tuhan begitu jauh.

Tak semudah yang kita rencanakan memang.

Kita berpisah, dan tak ada kata-kata yang bisa tumbuh jadi puisi di tubuhmu dan di tubuhku. “Terima kasih atas kunjungannya. Hati-hati ya!”.

Ingatan ku melayang-layang menuju kamar mu, menuju wajah mu, yang beku dan pucat dilalap air mata. Kepergian yang terkesan terencana bukan sebuah hal yang gampang diterima. Aku tidak bisa tidur. Di tembok-tembok ini masih tersisa bau tubuhmu. Tapi palu sudah diketuk tiga kali. Kau bersiap mencabut gugatan, tapi langit punya rencana yang lebih besar untukmu. Semakin aku membayangkan, semakin sesak kamar ini.

Maret 2018: Dua tahun setelah kepergianmu, aku memeliharamu ratusan bait yang kau sendiri bahan bakarnya. Kau dan aku menjumpai tubuh-tubuh baru yang bertahan melawan waktu. Tubuh yang selama ini coba mereka bunuh masih lekang dan sehat sentosa hidup.

Jadi bagaimana? Sudah berapa mimpi mu yang dapat ditaklukan? Kau sudah punya berapa anak? Aku tertawa di hadapan mu. Iseng katamu datang kemari. Kau balas tertawa. Aku masih jadi budak industri, katamu. Ah, kupikir Lika sudah lahir.

Lika Renjana Sukma — ingat, kita pernah membicarakan ini sebelumnya. Nama untuk anak perempuanmu kelak. Aku sudah tidak peduli.

Tanganmu menggenggam sebuah buku puisi Sapardi. Kau membuka isinya dan berhenti pada sebuah judul puisi yang sama dengan nama bukunya, “Pada Suatu Hari nanti”.

Impianku pun tak dikenal lagi. Namun di sela-sela huruf sajak ini. Kau berhenti sejenak.

Kau takkan letih-letihnya kucari.

Kau menamatkan puisi itu dengan apik. Suaramu yang halus dan aku masih menyukainya. Dulu aku suka membacakanmu puisi. Kebanyakan puisi-puisi Aan mansyur dan Sutardji, kadang-kadang iseng kubacakan puisi buatanku sendiri. Kadang kau balas dengan puisi buatanmu. Katamu suaraku pas untuk pengiring tidurmu.

Kalimatmu putus disitu. Mengambang. Kau seperti mematikan tanda tanya dalam kepalaku. Aku tak menanggapi apapun. Kau iseng bernyanyi sambil berbisik.

Ada pelangi di bola matamu.

Kau menatapku. Lantas mata kita bertemu. Tepat di mataku. Kau diam. Apa yang kau cari? Tidak ada pelangi di mataku. Kau seperti mencari sesuatu dari diriku yang sudah kau curi sendiri. Aneh.

Maaf ya. Dulu aku tak menepati janji untuk menonton Love for Sale 2 denganmu, katamu. Aduh, aku bahkan sudah tak ingat lagi janji itu. Aku cuma tertawa.

Kini tanda tanya itu terjawab sudah. Semenjak kepergianmu, aku mendekam di balik puisi-puisi yang kubakar untukmu. Yang lahir setelah utusannya pergi. Begitulah. Kadang menulis puisi untuk seseorang, orangnya pergi, puisinya abadi.

Aku cuma berharap kau bisa tabah dengan puisi-puisi yang melintas di media sosialmu. Bersamaku, kami berdua mengolok-ngolokmu.

Kekasih, kau tidak perlu datang jauh-jauh kesini meminta persetujuanku. Apa yang sebenarnya kau rencanakan untukku? Bukan untukmu, itu untuk tuhan. Ia kadang memang suka bercanda. Hitung-hitung aku belajar menertawakan kemalanganku sendiri.

Kau berangkat dan pamit meninggalkan meja. Kata-kata perpisahan bagai lorong-lorong sunyi. Dan wanginya seperti mawar merah muda. Kubayangkan ada teka-teki di dadamu yang baru saja terjawab.

Jatinangor masih sumpek. Dan kepergianmu menanam sesak di dalamnya. Aku tetap duduk tak beranjak dari meja menyaksikan punggungmu yang semakin jauh.

Aku diam berjam-jam di kafe yang dulu suka ada kau dan aku.

Dan setelah kemunculan mu hari ini, aku sadar, sekuat apapun aku bertahan menjadikanmu puisi, yang abadi tetap adalah kita.

Tidak ada puisi hari ini. Tidak ada puisi kemarin. Aku menghapus seluruh kata sebelum sempat menuliskannya.

Catatan:

Dihiasi oleh penggalan puisi-puisi:

  1. Tidak Ada New York Hari ini (Aan Mansyur)
  2. Di Hadapan Rahasia (Adimas Immanuel)
  3. Akhirnya Kau Hilang (Aan Mansyur)
  4. Pada Suatu Hari Nanti (Sapardi Djoko Darmono)

--

--