Yang Tak Sempat Mekar

Sebelum Tenggelam
4 min readFeb 23, 2021

--

Photo by Alexis Chloe on Unsplash

September 2019

Aku selembar kertas yang terbakar tapi buru-buru merasa menjadi sebuah api. Lembah Mandalawangi dan perjalanan singkat Bandung — Cirebon menutup sekaligus membuka sebuah jalan cerita panjang yang baru. Perkenalan yang tak seberapa dan dengan pakaian seadanya.

Bandung jadi jalan setapak yang tak pernah tuntas dilewati. Sudut-sudutnya memberi kenang dan klakson bising kendaraan hilang. Ingat, malam itu aku menyanyikan sebuah rima baru untuk telingamu. Kesedihanmu tumpah beberapa hari sebelumnya. Kita bertaruh mana yang lebih dahulu layu, kau atau rindu. Kekasihmu yang jauh di pulau tak sedikitpun acuh akan keadaanmu. Pelukan dan luka bukan hal baru untukmu. Ya, bukan untukmu. Aku akan menampung segala air mata yang turun dari matamu dan mataku.

Dan semua kujalani, penyesalan. Berilah sekali lagi, rasa percaya.

Jack alfreddo menghantam telingamu berkali-kali. Sambil mendengarkan, aku sibuk sendiri dengan urusanku. Kau diam dan ikut mengiringi lirik demi lirik lagu. Tak sadar air matamu menetes sendiri. Tanpa kau minta, tanpa kau pilah. Aku peluk tubuh yang malang itu, mematikan lagu sialan yang mengulas air matamu.Tapi kau bersikeras tidak mau pulang, kamar tidur kata kau menggenang kesedihan. Aku masih ingin disini. Dan sekali lagi bersikeras untuk berkata baik-baik saja.

“Dia mungkin cuma lupa, tak ada yang perlu dikhawairkan”.

Jam dinding mengantarmu pada pukul 2 dini hari. Aku menunggu air matamu kering. Sambil bernyanyi sendiri dalam hati.

Amarah. Ku dibunuh malam dicumbu kecewa. Maafkanlah hati. Kekasih. Lupakan sejenak semua yang terjadi. Maafkanlah diri.

Ayo pulang, katamu. “Sudah cukup aku merepotkanmu malam ini”.

Bandung menyimpan udara dingin di saku belakangmu. Untuk kening yang panas dan kenang yang tandas. Tapi kau selalu punya selimut untuk jadi hangat. Malam membanting pintu mengucapkan “Selamat tidur dan dekat”. Mimpi yang indah selepas membelah bola matamu yang berisi gundah.

November 2019

Kita bertengkar hebat untuk memilih jalan pulang. Aku bersikukuh untuk tinggal, kau berlainan arah menuju yang kau kira “rumah”.

Dan sebulan setelah kejadian itu, kau muncul lagi. Kali ini tidak dengan marah.

“Ayo pergi. Aku bosan disini”.

Tapi aku sudah di rumah. Dan akan selalu di rumah. Sebentar lagi Januari menggigit senyum kita. Cuma ada sekilas dan tak ada lagi ikhlas lagi di dalamnya. Aku seperti berlayar menjauhimu, setelah panggilan telepon beberapa hari lalu. Kau tidak sedikipun mau ditinggal layu sekali lagi. Bunga itu baru tumbuh dan belum sempat mekar di dadamu.

“Jangan tinggalkan aku lagi”.

Mengatasanamakan cinta. Bercinta lalu berpisah.

Tidak ada selamat tidur. Panggilan telepon itu gerbang selamat tinggal.

September 2020

Sebuah pesan tak biasa menghiasi layar telepon genggamku. Kau sudah di depan rumah, katamu. Tapi mana mungkin, jarak yang kau pangkas untuk melepas rindu itu tak biasa sekejap membawamu kesini. Sebulan sebelum itu, kita berkirim surat menanyakan perihal kabar. Sebuah pelukan takkan pernah cukup dalam sebuah amplop. Dan tanda tanya di kepala yang entah kapan dijawab.

Aku berhias diri menjadi seciamik mungkin. Walau tidak pernah tau kapan kau akan muncul di ambang pintu.

“Apa kabarmu? Akankah kau masih seperti dulu? Masih dengan mata sayu atau senyum palsumu?”

Pertanyaan yang lebih penting. “Kapan kita akan bertemu?”

Malam padam. Teman-temanku masih tersohor pada sebuah pertandingan sepakbola. Aku tidak bisa tidur. Aku masih bisa merasakan mulutmu di mulutku. Dan kau tak sedikitpun mengizinkanku menyalakan lampu. Biar malam ini padam dan aku mati di pelukanmu.

November 2020

Pelukan terbayar lunas. Air mata tumpah seketika. Kau menyalak di ambang pintu. Setelah perjalanan melelahkan yang kau tempuh berhari-hari. Kau seperti hidup kembali setelah pernah mati ditelan pandemi.

Kau pertamaku yang hilang, tak kau sangka kau datang dan memohon salahmu. Namun hati, kecewa.

Kita menghabiskan satu malam padam. Membayar segala rindu yang sudah ditabung. Pelukan yang luka itu kini telah sembuh, pamermu. Aku tak peduli apa yang terjadi antara kau dan kekasihmu itu. Sekarang kau ada disini memamerkan luka yang sembuh.

Berdua kau dan aku menghias malam dengan sepaket cerita. Tentang hidup yang begitu berat, anakmu yang baru bisa membaca, kue buatanmu selama lebaran dan percobaan bunuh diri yang pernah kau lakukan. Aku tak mengoceh sepatah katapun. Kini aku semakin paham, kali ini kau akan benar-benar tinggal. Tinggal di liang yang pernah kau ceritakan dulu.

Sepasang telinga akan jadi saksi malam itu. Betapa pernah hidup jiwa yang membuatku terlena. Dan di pemakamanmu bulan lalu aku menyadari, saat pertemuan terakhir kau dan aku yang kita hias dengan bingkai malam yang padam adalah ucapan selamat tinggal darimu selama-lamanya.

Aku menuliskannya ini dan tidak ingin kau hidup abadi. Aku merasa telah lunas dan selesai memberimu sepotong senyum yang ikhlas setelah menjalani hidup yang menyebalkan dan ganas. Sekarang aku tak bersahabat dengan penantian. Karena kau tak akan pernah pindah lagi dari sini.

Catatan:

Berisi lirik dari lagu-lagu Romantic Echoes

--

--